Toleransi Beragama
Toleransi Beragama
Manusia
diciptakan Allah Subhanahu wataala bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara manusia adalah
sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan
tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. (QS. Al Hujurat; 13).
Pengertian
toleransi beragama : Saling Menghormati Sesama
Sebagai makhluk
sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk
melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu
bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.
Dalam konteks
ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya,
tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut
dengan istilah toleransi beragama.
Toleransi
beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama
lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama
masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain
dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi
Muhammad Shollallahu alaihi wasallam telah memberi teladan mengenai bagaimana
hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr, sesungguhnya
dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata, “Apakah kalian sudah memberikan
hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku
mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku
tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau akan mewariskannya kepadaku. (HR.
Abu Dawud). Sesungguhnya ketika (serombongan orang membawa) jenazah melintas di
depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para Sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia
adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi? Beliau menjawab, “Bukankah dia juga
jiwa (manusia)? (HR. Imam Bukhari). Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu
alaihi wasallam berhutang makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan
pakian besi kepadanya. (HR. Imam Bukhari).
Pengertian
toleransi beragama : Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Dalam soal
beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu
diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya
sendiri, tanpa intimidasi.
Dan jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan
izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya. (QS. Yunus; 99-100). Dan katakanlah: “Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi
minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al
Kahfi; 29)
Persoalan
keyakinan atau beragama adalah terpulang kepada hak pilih orang per orang,
masing-masing individu, sebab Allah Subhanahu wataala sendiri telah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah
Subhanahu wataala diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara
memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak
kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu
mau beriman
Dalam sebuah
Hadits, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki dari sahabat Anshar datang kepada
Nabi, meminta izin untuk memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani agar beralih
menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil
membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama, yaitu Surah
Al-Baqarah: 256:”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah; 256)
Dalam Aqidah
Tidak Ada Toleransi
Jika dalam aspek
sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam
boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan
orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan
adanya toleransi (beragama) antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam.
Rasulullah
Shollallahu alaihi wasallam tatkala diajak ber-toleransi dalam masalah aqidah,
bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya,
orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah
diperintahkan oleh Allah Subhanahu wataala untuk menolak tawaran yang ingin
menghancurkan prinsip dasar Aqidah Islamiyah itu. Allah Taala berfirman:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
(QS. Al Kafirun; 1-6).
Dalam setiap
melaksanakan sholat, sebenarnya ummat Islam telah diajarkan untuk selalu
berpegang teguh terhadap aqidah Islamiyah dan jangan sampai keyakinan ummat Islam
itu sedikit pun dirasuki oleh virus syirik, yaitu dengan membaca: “Sesungguhnya
Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada yang menyekutui-Nya. Oleh
karena itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang Islam.
Kebenaran Islam
sebagai satu-satunya agama yang sah harus selalu diyakini oleh kaum Muslimin
dengan kadar keimanan yang teguh. Sama sekali tidak dibenarkan bahwa
masing-masing agama memiliki kebenaran yang relatif, sebagaimana yang sekarang
sedang digembar-gemborkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan telah
banyak merasuki jiwa generasi muda Islam. Bukankah Allah Subhanahu wataala
telah menandaskan: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran; 85).
Siapa yang
menginginkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, tidak ada jalan
kecuali beriman kepada Allah Subhanahu wataala dan beribadah kepada-Nya.
Kemuliaan itu tidak bisa dicapai dengan menyembah selain Allah Taala. Kemuliaan
hanya milik Allah semata. “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi
Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang
baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan
kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.
(Fatir; 10).
Seputar Natalan
dan Doa Lintas Agama
Kekuatan
musuh-musuh Islam terus bergerak aktif untuk melemahkan aqidah dan keyakinan
generasi muda Islam. Melalui propagandanya yang dikemas dengan sangat rapi,
mereka berusaha menciptakan keraguan dalam keyakinan ummat Islam.
Batasan-batasan aqidah Islamiyah yang sedari awal telah begitu jelas dan nyata,
antara yang hitam dan putih, antara yang haq dan batil, antara keimanan dan
kekufuran, direduksi oleh mereka menjadi abu-abu dan remeng-remeng (tidak
jelas).
Salah satu hal
yang status hukumnya dibuat mereka menjadi kabur dan remeng-remeng bahkan
dirubah total adalah masalah seputar natalan dan mengucapkan selamat natal
kepada orang-orang Kristen.
Mengucapkan
selamat natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekadar basa-basi
antar agama. Karena setiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai
sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing. Oleh sebab
itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana
yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat
syahadat. Betapa dua kalimat Syahadat itu memiliki makna yang sangat mendalam
dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan,
hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal hanya dua penggal
kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Demikian pula
pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada Nashrani juga memiliki
implikasi hukum yang tidak sederhana. Memang benar bahwa kaum muslimin
menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi mereka yang
zimmi. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah manakah batasan hormat dan ridha
dalam masalah ini. Antara hormat dan ridha jelas tidak sama. Ridha adalah suatu
hal dan ridha adalah yang lain.
Kita memang
harus menghormati Nasrani karena memang hal itu merupakan kewajiban. Hak-hak
mereka kita penuhi karena
itu kewajiban.
Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan
mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan
inilah yang namanya batasan yang jelas yang tidak boleh sekali-kali dikaburkan.
Bila kita tidak
mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan
dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat
Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang Nasrani di
Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti
kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang
tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri di mana umat Islam menjadi kelompok
minoritas. Bagaimana ummat Islam diteror, dipaksa, dipersulit, diganggu dan
dianiaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun
umat Islam yang minoritas, baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Walhasil, tidak
mengucapkan selamat natal itu justru merupakan pengertian toleransi beragama
dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi
ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar
kita melecehkan akidah yang kita anut.
Demikian pula
halnya dengan doa bersama lintas agama yang akhir-akhir ini juga makin marak.
Bahwa toleransi yang ditolelir adalah bentuk toleransi dalam wilayah sosial
kemasyarakatan. Berdoa sejatinya bukan masalah sosial, melainkan justru
merupakan intisari sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wataala, sebagaimana
sabda Nabi: Rasulullah bersabda, “Doa adalah intisari ibadah. (HR. Imam
Tirmidzi).
Orang yang
berdoa kepada Tuhannya, pasti dia meyakini bahwa Tuhannya adalah yang haq dan
yang bisa mengabulkan permintaannya. Jadi, jika dalam forum doa bersama itu
seorang Nasrani berdoa menurut keyakinannya dan orang Islam meng-amininya itu
sama halnya orang Islam tersebut telah meyakini kepercayaan orang Nasrani,
begitu juga sebaliknya. Wallahu alam bish showab.
* Penulis adalah
pengasuh PP. al-Haromain Pujon, Malang, Jatim
Beliau alumni
Sayyid al-Maliki Makkah, dan PP. Langitan Tuban
0 Response to "Toleransi Beragama"
Posting Komentar