Kultur Sekolah dan Masyarakat
MEMBANGUN
KULTUR SEKOLAH DAN MASYARAKAT
Indonesia
merupakan negara yang besar dan secara geografis Indonesia merupakan negara
yang terdiri dari pulau – pulau. Indonesia yang merupakan negara kepulauan,
menyebabkan adanya batas laut antara satu pulau dengan pulau yang lain. Jarak
yang timbul akibat batasan ini menimbulkan keberagaman. Keberagaman itu mulai
dari bahasa, pakaian, adat, aturan, kultur, dan lain – lainnya.
Adat, bahasa,
pakain dan lain sebagainya terangkum dalam sebuah kultur yang tiap daerah di
Indonesia berbeda. Kultur yang beragam merupakan kekayaan yang dimiliki oleh
Indonesia. Perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan adanya
percampuran kultur dari luar negeri. Kultur negeri sendiri semakin lama semakin
luntur. Kultur yang sangat berharga mulai diremehkan dan dianggap norak.
Masyarakat asli Indonesia lebih mengaggumi kultur negara lain. Padahal
mempelajari dan memahami kultur sendiri jauh lebih penting. Setidaknya untuk
menjaga eksistensi negri ini dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan keunikan
dan kekhasan, yaitu keberagaman kultur.
Berkaitan dengan
kultur, masyarakat Indonesia yang kulturnya masih tradisional, sehingga dalam
menjalani kehidupan sebagian besar masih berfikir tradisional. Masyarakat
Indonesia masih banyak yang tidak memprioritaskan pendidikan sebagai hal yang
penting. Kepedulian atau partisipasi masyarakat terhadap pendidikan sangat
kurang, entah karena tidak ada biaya atau kurangnya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikn di sekolah.
Memajukan negara
ini dimulai dengan meningkatkan kualitas pendidikan di mulai dari generasi
muda. Membudayakan masyarakat untuk mementingkn sekolah merupakan langkah awal
memajukan negara ini. Masyarakat sekolah harus dikembangkan di negara ini,
sehingga pendidikan dapat benar- benar dirasakan di masyarakat kita ini.
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia, memiliki makna yang sama dengan kebudayaan. Kebudayaan yaitu segala
daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam. Jadi,
Membangun kultur adalah segala daya atau usaha untuk membangun budi dan akal
manusia untuk menghasilkan suatu karya.
Sekolah bisa
diartikan beberapa pengertian:
Pendidikan
Gedung Sekolah -
tempat belajar secara formal.
Sekolah
(institusi) - tempat pendidikan diberikan.
Sekolah
(Dungeons & Dragons), dewa dalam permainan tersebut.
Masyarakat (sebagai terjemahan
istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi
tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat
sekolah yaitu Unsur-unsur yang melaksanakan proses persekolahan, tanpa adanya
unsur ini maka dipastikan kegiatan persekolahan akan terganggu. Yang kemudian
berkembang dengan sebutan stakeholder yang berisi antara lain : guru, kepala
sekolah, siswa, orang tua siswa dan pemerintah.
Membangun Kultur
Pada dasarnya
kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana
keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau
institusi. Khusus dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang
dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di
sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga
sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi
tercapainya visi dan misi sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan
membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala. Kultur
sekolah yang baik misalnya kemauan menghargai hasil karya orang lain,
kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, motivasi untuk terus
berprestasi, komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab. Sedangkan kultur
yang negatif misalnya kurang menghargai hasil karya orang lain, kurang
menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya motivasi berprestasi pada
warga sekolah.
Berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia, juga perlu diciptakan kultur yang baik. Pada
semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus ada komunikasi dan
kolaborasi yang apik sehingga mendukung sebuah lembaga untuk terus berinovasi,
untuk terus melakukan perubahan yang positif, atau Tajdid dalam bahasa
persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki kultur yang
baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada peserta didik yang juga
menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Untuk siswa
perlu ditingkatkan motivasi belajar dan pentingnya kedisiplinan, kejujuran dan
motivasi berprestasi sehingga kompetisi antar siswa akan tercipta. Contoh
kultur negatif yang masih sering dilakukan siswa antara lain masih kurang
diperhatikannya persoalan kedisiplinan, ini terbukti dari angka keterlambatan
yang cukup tinggi.
Budaya inovasi
juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen dan warga sekolah. Misalnya saja
guru harus membudayakan untuk terus berinovasi dalam pembuatan media
pembelajaran. Metode pembelajaran yang konvensional harus diganti dengan metode
baru yang kontemporer dan profesional tanpa meninggalkan penekanan kepada makna
dan kearifan lokal.
Setiap perubahan
budaya menuju perbaikan jelas akan menemui tantangan, terutama oleh mereka yang
merasa sudah mapan, status quo yang yang sudah terlanjur nyaman dengan
kemapanan. Kelompok pembaharu umumnya akan ditentang, memang karena perubahan
itu akan terkesan menakutkan bagi sebagian orang. Dalam manajemen organisasi
ini sesuatu yang wajar namun tetap perlu dikendalikan.
Solusinya, harus
ada kemauan untuk membangun budaya yang kondusif bagi pembelajaran itu dari
semua pihak. Lembaga sekolah harus melakukan berbagai pendekatan agar terjadi
komunikasi yang baik antara sekolah dengan warga sekolah. Pendekatan yang
dilakukan bisa massal maupun personal. Namun agaknya kecenderungan yang lebih
efektif adalah pendekatan personal. Dalam pendekatan itu sekolah wajib
menyadarkan warga sekolah akan kebutuhan terhadap perubahan itu sendiri,
dilakukan sosialisasi, pelatihan dan sebagainya. Disamping juga peraturan yang
sudah dibuat melalui konsensus itu mesti ditegakkan.
Bagi guru, agar
mudah menerima perubahan maka mesti memperluas wawasan, sharing perkembangan
yang sudah terjadi di luar sana sehingga bisa berpikir lebih akomodatif
terhadap perubahan positif kebudayaan. Dan yang tidak kalah penting, kepada
siswa perlu dilakukan sosialisasi mengenai tantangan dunia ke depan sehingga
mereka termotivasi untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan zaman.
Terhadap kultur
yang dibawa oleh kecanggihan teknologi memang tidak semuanya baik. Kita perlu
menyaring, memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tidak
semuanya konsekuensi teknologi itu kita biarkan, diperlukan adaptasi, bukan
adopsi. Namun adanya sisi negatif itu bukan berarti kita harus menutup diri
dari teknologi, kalau kita antipati maka kita pasti semakin tertinggal.
MEMBANGUN
MASYARAKAT SEKOLAH
Lembaga
pendidikan yang akan kita bangun, amat tergantung pada banyak faktor, mulai
kondisi SDM-nya seperti kepala sekolah sampai dengan tenaga pendidik dan tenaga
administrasinya sampai dengan peserta didiknya. Masyarakat sekolah juga amat
dipengaruhi oleh sistem manajemen dan organisasinya, serta fasilitas sekolah
yang mendudungnya. Suatu lembaga pendidikan berasrama milik militer atau
kepolisian akan terlihat mulai dari adanya sistem penjagaan yang ketat. Begitu
masuk pintu gerbang lembaga itu suasana itu sudah mulai terasa. Dua penjaga bersenjata lengkap berdiri di
depan pos jaga yang siap akan menanyakan kepada semua tamu yang datang. Penjaga
itu bisa saja siswa piket atau petugas outsourcing yang ditugasi untuk itu.
Itulah budaya kasat mata yang dapat segera kita lihat.
Sekolah dapat
berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, termasuk kepada
pendidik dan peserta dididk. Budaya sekolah berpengaruh terhadap bagaimana
pendidik berhubungan dan bekerja sama dengan semua warga sekolah, dengan sesama
pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, pegawai tata usaha sekolah,
dan juga kepada masyarakat. Nilai-nilai sosial budaya sangat berpengaruh
terhadap bagaimana sekolah menghadapi masalah sekolah, dan sekaligus memecahkan
masalahnya, termasuk masalah hasil belajar peserta didik.
Nilai-nilai
sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya
baru yang tumbuh dalam masyarakat. Ketika masyarakat masih memiliki paradigma
lama dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya kepada sekolah,
maka lahirlah satu bentuk hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat
yang sangat birokratis. Orangtua dan masyarakat berada di bawah perintah kepala
sekolah.
Cara Membangun
Masyarakat Sekolah
Banyak sekali
nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat
taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut.
Ingin menanam benih-benih kejujuran dalam masyarakat? Tanamlah di sekolah.
Demikian seterusnya dengan benih-benih nilai-nilai sosial budaya lainnya.
Contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus ditanam pada masyarakat sekolah
sekolah:
Pertama,
kebiasaan menggosok gigi. Kebiasaan ini sangat Islami. Nabi Muhammad SAW selalu
melakukan “siwak” dalam kehidupan sehari-harinya. Ada nilai religius dan medis
yang dapat dipetik dari kebiasaan ini. Ucapan yang baik akan berasal dari mulut
yang bersih. Secara medis, gigi dan mulut yang bersih akan berdampak terhadap
kesehatan otak kita. Hasilnya sama dengan tinjauan dari sudut pandang religius.
Kedua, etika.
Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan
orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain
yang bernama ibu dan ayah kita, dan kemudian hidup bersama dengan orang lain.
Oleh karena itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang
lain.
Ketiga,
kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada
dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain. Kejujuran itu
harus dibangun di sekolah. Bukan sebaliknya. Dari tinjauan inilah barangkali
KPK telah membuat program kantin kejujuran di ribuan sekolah di negeri ini.
Konon, materi materi matapelajaran matematika modern seharusnya menghasilkan
manusia yang jujur di negeri ini. Apalagi dengan materi pelajaran Pendidikan
Agama. Tetapi nyatanya tidak demikian. Malah telah menghasilkan banyak
koruptor. Materi tentang penjumlahan, pengurangan, dan perkalian ternyata jauh
lebih sulit dibandingkan dengan materi tentang pembagian. Hasilnya, membagi
kasih sayang, membagi pemerataan, dan membagi kebahagiaan ternyata jarang
dilakukan ketimbang mengumpulkan hasil korupsi, mengalikan bunga bank untuk
kekayaan pribadi. Oleh karena itu, maka budaya kejujuran harus dapat dibangun
di sekolah.
Keempat, kasih
sayang. Penulis pernah mengutip pandangan guru besar IKIP Surabaya, yang
menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1)
kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing
sayang telah melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan
kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
Kelima, mencintai
belajar. Mana yang lebih penting? Apakah menguasai pelajaran atau mencintai
belajar? Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang
bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu.
Dari sini lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada
menghafalkan fakta dan data.
Keenam,
bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab.
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang
telah dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa
tanggung jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari
keluarga.
Ketujuh,
menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan peraturan
karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan
perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita
mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan
itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
Kedepalapan,
menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang lain karena
berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang kita
peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri
sendiri ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada
orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan
budaya.
Kesembilan,
mencintai pekerjaan. Ingin berbahagia selamanya, maka bekerjalah dengan senang
hati. Ini adalah kata-kata mutiara yang selalu melekat di hati. Pekerjaan
adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak
hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang
pentingnya menghargai pekerjaan.
Kesepuluh, suka
menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil pekerjaan
kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang
daripada pasak”. Tidak mempunyai penghasilan cukup tetapi tetap melakukan pola
hidup konsumtif. Penghasilan pas-pasan, tetapi tetap menghabiskan uangnya untuk
tujuan yang mubazir, seperti merokok. Kita masih jarang memiliki semangat
menabung untuk masa depan.
Kesebelas, suka
bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama di pedesaan
kita. Pagi-pagi masih berkerudung sarung. Padahal, setelah shalat Subuh, kita
diharuskan bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Untuk ini, suka bekerja harus
menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.
Kesepuluh, tepat
waktu. Waktu adalah pedang, adalah warisan petuah para sahabat Nabi. Time is
money adalah warisan para penjelajah ”rules of the waves” bangsa pemberani
orang Inggris. Sebaliknya, jam karet adalah istilah sehari-hari bangsa sendiri
yang sampai saat ini kita warisi. Mengapa warisan ini tidak dapat segera kita
ganti? Maka tanamlah benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah kita. Sudah
barang tentu masih banyak lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam
melalui ladang lembaga pendidikan sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut
harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk melalui proses pendidikan dan
pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat kita. Amin..
Kultur yang ada
disekolah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa. Sekolah yang memiliki
kulttur sekolah yang baik tentunya lebih ungul dibanding sekolah- sekolah yang
lain. Sekolah yang unggul diantaranya memilki visi dan misi yang jelas.
Akhirnya , kultur sekolah yang baik dimana hal ini akan menciptakan susasana
belajar yang kondusif akan terwujud jika semua komponen di ligkungan sekolah
dan elemen- elemen lain diluar sekolah yang amsih terkait menyadari, bahwa
menjaga dan ikut memelihara serta menciptakan susasana baik dilingkungan
sekolah dan lingkungan- lingkungan yang terkait merupakan tanggung jawab semua
pihak
0 Response to "Kultur Sekolah dan Masyarakat"
Posting Komentar