Ketika Agama Berkata Demokrasi



Ketika Agama Berkata Demokrasi

Saat ini gejolak mewabahnya paham demokrasi tidak bisa kita tampik lagi, kekuasaan pada demokrasi di dasarkan pada aspirasi rakyat. Rakyat memiliki kekuatan penuh dalam suatu kekuasaan, namun dalm praktek dan kenyataan saat ini tak ada perlakuan dan tindakan positif dalam kata-kata demokrasi, seolah masyarkat terabaikan.
Dalam sisi pandang agama proses demokratisasi, terdapat segi positif dan negatifnya. Unsur-unsur agama sendiri terdapat pada demokrasi sebagai contoh unsur islam yang terdapat dala demokrasi adalah musyawarah, jika hindu terdapat unsur ahisma yang dicetuskan oleh gandhi. Sesungguhnya keberadaan agama sangatlah penting adanya sebagai pembawa keselamatan. Dalam agama Kristen ada adagium "Extra ecclesia nulla salus" di luar gereja tidak ada keselamatan. Orang-orang Islam mengatakan "Islam adalah rahmat bagi alam semesta (rachmatin lil alamin). Dalam agama Hindu ada ungkapan "ahimsa paramo dharma." Ahimsa atau non-kekerasan adalah kebenaran tertinggi. Dharma dalam agama Hindu berarti agama.
Samuel Huntington membuat empat kategori hubungan demokrasi dengan agama sebagai berikut (1) tindakan beragama yang pro demokrasi seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat yang beragama Protestan; (2) tindakan beragama yang moderat terhadap demokrasi seperti masyarakat Hindu dan Shinto;(3) tindakan beragama yang menunda demokrasi seperti masyarakat yang didominasi Katolik; (4) tindakan beragama yang pro otoritarian seperti yang terdapat pada masyarakat yang didominasi oleh agama Buddha, Confucius dan Islam.
Dalam ajaran agama hindu yang paralel terdapat prinsip-prinsip demokrasi, sebagai berikut,
1.     Pengakuan terhadap kemajemukan dan perbedaan
2.     Paham ketuhanan pantheisme
3.     Hukum Karma
4.     Penghargaan terhadap martabat manusia ( doktrin Tat Twam Asi )
5.     Doktrin Ahimsa
Dalam keberadaan dan perjalanannya agama dan demokrasi selalu di hubungkan dengan kekerasan, kekerasan ini terkadang mengandung nilai positif tersendiri terhadap kehidupan proses demokratisasi. Kekerasan yang berasal dari masyarakat, ditujukan kepada negara, gedung-gedung atau pejabat-pejabatnya, biasanya melahirkan demokrasi, atau paling tidak mencegah demokrasi diselewengkan.
Kekerasan politik - dari melempar batu dalam demonstrasi, sampai revolusi dan perang saudara - jelaslah tidak demokratis (undemocratic). Karena ia lebih melibatkan kekuatan (force) dari pada proses demokrasi. Kekerasan juga dapat digunakan untuk mengoreksi pengaruh yang tidak demokratik dari harta dan tahta (kekayaan dan kekuasaan), dan mungkin akan membawa ke arah demokrasi yang lebih baik.
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.
John O Voll dan John L Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di jurnal Foreign Affairs (April, 2002): “Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena Islam politik seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur Islam utama mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah).
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring
dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsure pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Islam.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer.
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.
Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Hubungan antara Islam dan demokrasi atau dengan kata lain, potensi demokrasi Islam sebagai sebuah agama, budaya dan peradaban masih menjadi isu yang sangat kontroversial. Salah satu sisi perdebatan adalah adanya pembedaan yang seringkali dibuat menyangkut nilai-nilai disatu sisi dan teknik pada lain sisi. Teknik-teknik dinyatakan bersifat netral dari sudut pandang agama dan moral yang berarti pula bisa di ambil dan diadopsi dari masyarakat Barat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Islam yang utuh dan tidak diselewengkan.
Selain persoalan tersebut, yang tak kalah kontroversialnya adalah persoalan perlunya suatu otoritas politik untuk menerapkan seperangkat hukum agama (Islam), suatu yang sangat ditentang dalam demokrasi. Alasannya tidak boleh ada dominasi politik tertentu dalam demokrasi, melainkan dalam demokrasi tersebut haruslah mencerminkan kepentingan seluruh komunitas. Tidak ada satu kejadian politik pun yang terjadi dibelahan dunia manapun melainkan digiring menuju pelaksanaan demokratisasi di segala bidang.
Satu hal yang harus difahami didalam mengetahui hakekat demokrasi, bahwa demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konteks latar belakang kemunculannya (historical background) dan apa yang diinginkan oleh para penggagasnya, sehingga dari sanalah kita akan memperoleh deskriptif yang obyektif bukan subyektif, sebagai prasyarat berfikir yang rasional.
Mulailah para filosof dan pemikir mulai membahas permasalahan pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan demokratis yang menempatkan rakyat sebagai sumber hukum dan kekuasaan yang tidak terikat dengan nilai-nilai spiritualitas agama. Jadilah gagasan-gagasan demokrasi sebagai platform sebuah negara yang ideal dan menjadi pusat perhatian para pemikir semisal Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu dan lain-lain. Mereka inilah tokoh-tokoh yang banyak merumuskan gagasan demokrasi Barat yang inheren sampai kondisi kontemporer saat ini. Jadi, hakekatnya, demokrasi tidak bisa melepaskan dirinya dari landasan epistemologisnya yang berwatak sekuler.
Harvey Cox mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Amin Rais (1991); komponen-komponen sekulerisasi adalah disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of Natureberarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan. Hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses sejarah. Sementara itu, dekonsentrasi nilai-nilai maknanya adalah perelatifan setiap sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut.[iv]
Dalam kenyataannya, demokrasi memang meremehkan nilai-nilai agama dan memandang agama sebagai masa lalu yang sudah tidak tidak lagi memiliki bargaining sama sekali dalam masalah pemerintahan.
Keberadaan demokrasi sesungguhnya telah jauh ada dalam nilai agama islam sebelum orang-orang barat  mengetahui makna demokrasi itu sendiri. Para demokrat muslim bahkan mengatakan bahwa jauh sebelum demokrasi dilahirkan masyarakat Barat, Islam terlebih dulu menancapkan prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis, dengan menafikan pengertian dan karakter demokrasi itu sendiri, demokrasi difahami secara simplikatif sebagai proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang pemimpin.
Adanya fallcy of competition (penyamaan dua hal yang sebetulnya berbeda) yang dilakukan oleh sebagian pemikir Islam tersebut ini telah mereduksi ajaran Islam sampai pada tataran yang memprihatinkan. Impotensi intelektual ini sangat jelas merupakan akibat dari kemunduran pemikiran dan politik umat, sehingga menjadikan umat Islam mengalamidisturbance of self image (keguncangan citra diri) dan split personality (kepribadian ganda) dalam seluruh pengaturan kehidupan mereka.
Secara umum , konsep pluralisme, inklusivisme, toleransi dan faktor-faktor penegakkan keadilan sosial dalam Islam merupakan landasan dasar terhadap penghormatan hak-hak asasi manusia sebagai kerangka acuan konsep demokrasi.
Konsep demokrasi dalam konsep Islam yang paling kental terlihat dari prinsip-prinsipnya, yaitu musyawarah (perundingan), musawa (kesetaraan), dan syura (konsultasi dalam artian luas). Prinsip-prinsip ini memiliki tafsiran luas terhadap gagasan ide demokrasi. Menurut Amien Rais, seperti yang telah dikutip Anders Uhlin dalam bukunya Oposisi berserak, ada 5 prinsip demokrasi dalam Islam yakni: Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua, sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah. Ketiga, terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender, etnik, warna kulit, atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lain-lain. Keempat, kebebasan di definisikan sebagai kebebasan berfikir, berpendapat, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, mengadakan gerakan dll. Dan yang terakhir, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-kebijakan mereka.
Hampir tak seorang cendekiawan dewasa ini menolak ide demokrasi. Setiap sistem pemerintahan di suatu negara berusaha merujuk pada gagasan demokrasi, yang sekaligus terobsesi pada kehidupan demokratis di negara maju yang sudah berkembang pesat. Di dunia Islam, tren demokratisasi ditanggapi de­ngan begitu meriah. Sejumlah kaum intelektual dan tokoh muslim memaparkan penafsiran agama yang sesuai dengan semangat demokrasi. Bagi mereka, demokrasi dan Islam adalah sejalan dan sebangun. Kelompok-kelompok konservatif juga mulai masuk dalam sistem demokrasi.
Bahkan ada yang memandang bahwasanya deokrasi itu seperti suatu agama baru yang muncul dalam masyarakat, berbicara mengenai hukum yang terdapat dalam demokrasi, Yang menjadi patokan hukum demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun.
Beberapa orang beranggapan bahwa demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka demokrasi menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah dan menjadikannya sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Hal ini menjadikan demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat dan ini bertentangan dengan agama Islam yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah Allah .
Dan mungkin beberapa orang yang beranggapan negatif memunculkan beberapa alasan yang mungkin bisa menghambat demokrasi itu sendiri dengan kesempitan pola berpikir, namun tidak ada salahnya ini hanya suatu pendapat mengenai demokrasi yang dimana sisi mana saja dilihat dari kedua sisi (praktek) itu merupakan kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan dengan millatuttauhid (Islam) dan dien para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya :
Pertama : Sesungguhnya demokrasi adalah tasyrii'ul jamaahiir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat atau mayoritasnya) atau hukum Thaghut, dan bukan hukum Allah. Kedua : Karena sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau Thaghut yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah . Ketiga : Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat busuk, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Ketika Agama Berkata Demokrasi"

Posting Komentar